Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang Kampung Nelayan, Medan-Belawan, Sumatera Utara. Untuk menuju pemukiman penduduk Kampung Nelayan yang berada di seberang lautan, kita dapat menumpangi perahu bermotor sederhana yang banyak tertambat di sepanjang dermaga. Perahu-perahu bermotor itu sepertinya memiliki giliran pemberangkatan yang telah disepakati. Jadi saat kita berjalan di dermaga kita sudah langsung ditawarkan dan ditunjukkan perahu mana yang akan berangkat. Di dalam perahu kita dapat bertemu dengan penumpang-penumpang lain yang juga ingin menyeberang menuju pemukiman penduduk. Di perkampungan nelayan tersebut ada beberapa tangkahan. Para penumpang akan diturunkan sesuai dengan tangkahan yang mereka tuju.
Di sepanjang perjalanan di dalam perahu kita dapat menikmati pemandangan laut, perumahan penduduk yang sudah tampak dari jauh, dan juga hutan bakau yang tampak si satu sisi. Kita dapat berpapasan dengan perahu-perahu lain yang akan berangkat ke dermaga untuk membawa penumpang ke luar perkampungan, atau nelayan pencari ikan yang menggunakan perahu-perahu kecil. Bagi yang hobi fotografi, pemandangan yang tersaji selama berada di perahu sangat menarik untuk dijadikan objek foto, apalagi didukung dengan pemandangan langit yang membentang di atas lautan.
Sesampai di perkampungan, kita akan disuguhi pemandangan rumah-rumah terapung yang terbuat dari papan, dan tonggak-tonggak kayu di bawahnya sebagai pondasi. Jalan yang kita lewati pun semuanya terbuat dari papan dan potongan-potongan kayu yang disusun. Kita harus berhati-hati selama berjalan, karena bisa saja ada jalan yang agak rusak dan kayunya sudah agak lapuk. Kadang-kadang, selama kita berjalan, jika kita berpapasan dengan anak-anak kecil yang berlarian, maka jalan yang kita lewati akan terasa bergoyang, hehe.
Seperti namanya, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan. Dan banyak ibu rumah tangga yang membantu suaminya mencari nafkah dengan menjual udang yang biasanya mereka jemur di teras rumah mereka. Tidak jarang juga ada anak-anak kecil yang menawarkan kepiting-kepiting hasil tangkapan mereka, untuk dijual tentunya. Dan warung-warung sederhana yang menjual kebutuhan sehari-hari banyak juga ditemukan di perkampungan ini. Tetapi untuk belanja yang besar atau barang-barang lain yang tidak ditemukan di sana tentu saja mereka harus pergi ke luar perkampungan.
Di Kampung Nelayan ini juga ada dibangun sekolah, tempat ibadah seperti masjid, dan ada juga pemakaman. Hal yang membuat tidak nyaman di perkampungan ini menurut saya adalah sanitasi yang kurang memadai. Penduduk masih agak sulit mendapatkan air bersih, penggunaan jamban yang pada umumnya pembuangannya langsung ke laut, sampai ke masalah sampah yang dapat terlihat di mana-mana. Setidaknya, itu yang saya lihat saat saya ke sana di tahun 2013. Saya tidak terlalu tahu, apakah saat ini sudah ada perubahan atau belum.
Menurut saya, Kampung Nelayan ini memiliki potensi sebagai salah satu objek wisata. Paling tidak, sebagai objek wisata bahari dan sejarah. Karena memang kota Belawan memiliki catatan sejarah yang merupakan bagian dari sejarah Sumatera Utara. Namun, mewujudkan desa yang ideal juga bukan perkara yang mudah. Harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan kesadaran masyarakat juga. Sekali lagi, ini hanya pendapat dan pemikiran saya, karena tentunya pelaksanaannya untuk menuju perubahan itu tidak semudah saya menulis tulisan ini.
Ini disebelah mana Icha? pas mba kesana gak nemu haha
Ini yg dermaganya dekat perumahan TNI AL, Mbak. Yg di simpang jalan besarnya ada pasar, pajak apa namanya lupa 😀 Mbak Noni ke bagian mananya?
di Bontang Kuala, Kalimantan Timur juga ada yang seperti ini dan untungnya udah jadi objek wisata karna disana juga jadi akses untuk ke pantai di tengah laut. :)) Duh saya jadi pengen ikan bakar fresh dari laut XD
Kalo ini belum jadi tempat wisata 😀 Aaaaak jadi pengen ikan bakar fresh dari laut juga 😊
warna kulit belum balik *malahan sekarang jadi warna dasar* liat ini jadi mupeng mau mantai lagihh hiksss
Mantai aja lagi, Mbaaak. Abaikan warna kulit hihi 😊
Sepertinya pemandangannya bagus. Masih alami. Apakah tempatnya bersih? Soalnya kadang2 liat di foto tidak sama di kenyataan. Takutnya tempatnya sudah tercemar dan rusak oleh tangan2 jail
Seperti yg saya blg di post, sanitasi di sana masih krg. Klo soal foto, ya namanya yg difoto lautnya sama langit, ya gak kelihatan lah kotornya, hihi…
Tangkahan itu artinya apa Icha?
Tangkahan itu kayak tempat pemberhentian perahu untuk naik ke perkampungannya, Bu Monda. Tapi klo menurut KBBI, tangkahan itu artinya tempat menjemur ikan, hihi 😊
Aku suka parno kalau naik kapal nelayan. Mungkin karena nggak bisa renang dan nggak ada baju pelampungnya kali ya. Beneran takut kapal terbalik akuhnya
Aku jg gak bisa renang, Mbak 😁 Ini perahunya emg khusus utk ngangkut penumpang dan dr dermaga ke perkampungannya gak terlau lama.
Ikut prihatin soal banyaknya sampah di sana. Semoga bisa jadi perhatian masyarakat buat lebih memperhatikan kebersihan.
Terus ada satu kebingungan lagi. Di kampung nelayan ini ada pemakaman. Jadi pemakamannya di atas air juga? #bingung
Gak, Mas. Pemakamannya itu di daratan deket hutan bakau. Tapi kalau air lg pasang, menurut masyarakat sekitar bisa terendam jg. 😀
Mereka punya dinamika masyarakatnya sendiri ya ternyata. Unik banget. Thanks sudah share yang bagus begini 🙂
Sama2, Mas. 😊
sayang lg mendung yaa. Coba lagi terang pasti lebih keren pemandangannya
Iya, Mas. 😊
Rumah-rumahnya unik ya. Ah, itu lagi mendung. Kalau lagi cerah kayaknya bakal panas banget ya, hahaha 😆
Iya, Koh. Tapi karna byk anginnya, kayaknya gak bakal kegerahan bgt. 😊
Semoga masalah sampah sudah diatasi sekarang…kadang memang susah juga kalau tidak diatur dari pemerintah setempatnya. Mungkin tidak ada tempat pembuangan sampah yang memadai 😦 Terimakasih reviewnya Icha 🙂
Iya ya, Mbak, semoga ada perhatian dan penyuluhan dari masyarakat setempat. Sama2, Mbak Indah. 😊
Eh, dari pemerintah setempat maksudnya hihi.
Pemandangannya terasa seperti ‘novel’ banget, kayak yang dideskripsikan penulis-penulis dari tanah sumatra. 🙂
Makasih, Umami. Nama kamu susah dipenggal ya suku katanya. 😀
sama-sama icha. kapan-kapan aku bahas cara memenggal namaku, hehe
aku sama sekali tidak pernah ke Belawan meski 5 tahun di Medan 😦
Oh semoga di lain kesempatan bisa ke Belawan ya. Btw, sekarang masih di Medan, Mbak?
udah di jakarta
Nice blog 🙂
Thank you. 😃
Hmmm, kalau mengingat nelayan sebagian besar termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke bawah, rasanya sulit membayangkan perkampungan apung yang sehat tanpa campur tangan pemerintah atau mereka yang menggelontorkan dana CSR. Kalau saya pikir-pikir, memang membangun sanitasi yang sehat di atas laut lebih sulit daripada di tanah. Mungkin karena itu penduduk di sana memilih “cara yang mudah” saja.. buang langsung ke laut…
Agreed. Memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka ya, Mas. Semoga saja benar2 ada perhatian dr pemerintah, sehingga ke depannya ada perubahan. Walaupun mungkin bukan perubahan yg besar, karena spt yg Mas bilang membangun sanitasi yg baik di atas laut itu lebih sulit.
Kalau kita mau ngadain acara di sana-sana, kira” bisa gak ya kak? Kakak punya CP yang bisa dihubungi disana gak ya? Tolong di balas 🙂
Maaf saya gak punya CP-nya, mbak. Kalo mbak domisili di Medan bisa langsung datang ke sana, nanti coba tanya aja ke warga setempat. 😊